Total Tayangan Halaman

Kamis, 29 Desember 2011

Epidemi Penyakit Pada tanaman Sengon

I. PENDAHULUAN

Latar Belakang

Epidemiologi penyakit tanaman adalah studi tentang penyakit pada populasi tanaman.. Sama seperti penyakit manusia dan hewan, penyakit tanaman terjadi karena patogen seperti bakteri , virus , jamur , Oomycetes , nematoda , phytoplasmas , protozoa , dan tanaman parasit. Epidemiologi penyakit tanaman sering dilihat dari pendekatan multi-disiplin, yang membutuhkan biologi , statistik , agronomi dan ekologi perspektif. Biologi diperlukan untuk memahami patogen dan siklus hidupnya. Hal ini juga penting untuk memahami fisiologi tanaman dan bagaimana patogen yang dapat mempengaruhi itu.. praktik agronomi seringkali mempengaruhi kejadian penyakit yang lebih baik atau buruk. pengaruh ekologis yang banyak.. Spesies asli tanaman menjadi penampungan untuk patogen yang menyebabkan penyakit pada tanaman. Statistik model sering digunakan untuk meringkas dan menggambarkan kompleksitas epidemiologi penyakit tanaman, sehingga proses penyakit dapat lebih mudah dipahami
Epidemi penyakit pada tanaman dapat menyebabkan kerugian yang besar dalam hasil tanaman serta mengancam untuk menghapus sebuah seluruh spesies seperti halnya dengan penyakit Elm Belanda dan bisa terjadi dengan Sudden Death Oak  . Epidemi penyakit busuk daun kentang, yang disebabkan oleh Phytophthora infestans , menyebabkan Kelaparan Besar Irlandia dan hilangnya banyak nyawa.
Monocyclic epidemi disebabkan oleh patogen dengan rendah tingkat kelahiran dan tingkat kematian yang berarti mereka hanya memiliki satu siklus infeksi per musim. Mereka adalah khas tanah lahir penyakit. Polisiklik epidemi disebabkan oleh patogen mampu siklus beberapa infeksi musim.

Tujuan
            Untuk mengetahui bagai mana mahasiswa dapat melihat gejala dan pengertian epidemiologi dan kasus yang sering terjadi  akibat epidemiologi.



II. PEMBAHASAN

EPIDEMI PENYAKIT KARAT TUMOR PADA SENGON

Penyakit gall rust (karat tumor, karat puru), merupakan salah satu penyakit yang berbahaya pada tanaman sengon Falcataria moluccana, saat ini di Indonesia. Dampak penyakit pada semai maupun tanaman dewasa dapat sangat luas, mulai dari menghambat pertumbuhan sampai mematikan tanaman. Pulau Jawa, merupakan salah satu pusat penghasil kayu sengon terbesar di Indonesia. Adanya epidemi penyakit karat tumor pada tanaman sengon di pulau Jawa, merupakan ancaman yang dapat mengakibatkan penurunan produk kayu sengon besar-besaran pada tahun-tahun mendatang. Hal ini tentu saja akan berpengaruh kuat pada peta pengusahaan tanaman sengon di pulau Jawa serta prospek pengembangan produk-produk ber basis kayu sengon. Oleh karena itu perlu dipikirkan langkah-langkah atau strategi terbaik untuk mengendalikan penyakit tersebut. Adapun langkah-langkah konkrit hanya akan dapat diambil apabila kita telah mempunyai dasar-dasar pengetahuan tentang penyakit karat tu     mor sebagai berikut :
a. Penyebab penyakit karat tumor dan perilaku, termasuk cara penyebaran serta siklus         hidupnya.
b. Gejala dan akibat yang ditimbulkan.
c. Faktor lingkungan maupun faktor dalam tanaman itu sendiri yang mendukung atau     menghambat  terjadinya penyakit.        
Mengingat keberadaan penyakit karat tumor terutamanya di beberapa daerah di Jawa dan Bali sudah mencapai tingkat epidemi, maka perlu dilakukan penanggulangan secara serius. Kerja sama aktif antara pemerintah, rakyat, LSM, peneliti dan pengusaha serta unsur-unsur terkait lainnya sangat diperlukan untuk mendapatkan solusi yang terbaik.

Penyebaran penyakit karat tumor 

Di Asia Tenggara, penyakit karat tumor pada sengon pertama kali dilaporkan pada tahun 1990 di pulau Mindanao, Pilipina. Empat tahun kemudian (1994), penyakit telah menyebar di kepulauan Visayas, dan pada 1995, epidemi penyakit tersebut terjadi di kepulauan Luzon, Pilipina Di saat yang hampir bersamaan, pada akhir tahun 1992 epidemi penyakit juga dilaporkan di hutan tanaman milik Sabah Softwood Berhad (SSB) di Tawau, Sabah, Malaysia. Pada tahun berikutnya (1993), epidemi juga terjadi pada tanamansengon milik SFI (Sabah Forest Institute) di Sipitang, Sabah.  Di Indonesia, penyakit karat tumor pertama kali dilaporkan pada tahun 1996 di pulau Seram, Maluku. Sayangnya, penyakit tersebut tidak mendapat perhatian khusus dan tidak diinformasikan secara luas, sehingga permasalah mengendap begitu saja. Di Timor-Timur, pada tahun 1998 sampai dengan 2001, telah terjadi epidemi penyakit ini pada hampir 90% tanaman sengon yang berfungsi sebagai penaung pada perkebunan kopi. Sementara itu, di Sorowako, Sulawesi Selatan, pada awal tahun 2005 telah ditemukan penyakit tersebut pada pertanaman sengon di lokasi reboisasi bekas tambang timahMeskipun epidemi baru terjadi pada tahun 2005, namun diyakini bahwa penyakit telah ada sejak 4 atau 5 tahun sebelumya.
 Di pulau Jawa, khususnya di Jawa Timur, penyakit karat tumor telah dilaporkan pada tahun 2003. Namun, permasalahan tidak ditanggapi secara serius oleh pemerintah maupun pihak swuasta. Akibatnya, pada tahun 2005 penyakit telah menyebar luas di seluruh Jawa timurTimur, terutama di lereng gunung G. Semeru, pegunungan Ijen, dan gunung G. Raung, meliputi Banyuwangi, Bondowoso, Pasuruan, Malang, Probolinggo dan Jember. Berdasarkan pengamatan lapangan pada November 2006, di perkirakan penyakit telah ada 3 atau 4 tahun yang lalu, yakni pada tahun akhir tahun 2001 atau awal tahun 2002. Kabupaten Kediri, yang merupakan salah satu sentra pertanaman sengon di pulau Jawa, saat ini juga telah mengalami serangan gall rustkarat tumor, meskipun statusnya masih sporadis . Pada awal tahun 2006, di propinsi Jawa tengah Tengah seperti daerah Purworejo, Banjarnegara, Magelang, Temanggung, Wonosobo dan Boyolali yang juga merupakan sentra pertanaman sengon, dinyatakan belum mengalami serangan karat tumorgall rust. Namun, berdasarkan simulasi model penyebaran penyakit yang dikembangkan penulis untuk penyakit karat tumor pada sengon daerah Jawa tengah Tengah sebenarnya juga telah terinvestasi penyakit karat tumor gall rust sejak tahun 2005.
 Hal tersebut terbukti setelah dilakukan survey dan pengamatan lapangan pada bulan Maret 2007. Di Temanggung, penyakit telah menyebar di Desa Kandangan dan Pringsurat. Bahkan persemaian di daerah Kutoarjo yang memiliki ketinggian 78 m dpl, penyakit ini juga telah berkembang, meskipun belum menunjukkan gejala yang jelas. Dengan demikian, diperkirakan daerah-daerah di sekitarnya seperti Purworejo, Purwokerto, Banjarnegara, Magelang dan Wonosobo pun juga telah mendapatkan serangan penyakit karat tumor ini. Pada awal tahun 2007, penyakit karat tumor juga telah menyebar di wilayah Bali Timur, terutama di daerah Kintamani. Pada daerah dengan ketinggian lebih dari 600 m di atas permukaan laut, penyakit ini dapat berkembang dengan cepat. Di Jawa, pada awal tahun 2008, penyakit karat tumor juga telah ditemukan di daerah Purwokerto dan banjarnegaraBanjarnegara, Banyumas, Jawa Tengah. Hal ini merupakan satu indikasi bahwa ada kemungkinan nantinya daerah Jawa Barat juga akan segera terserang penyakit tersebut. Sementara itu, pada awal tahun 2008 ini juga telah dilaporkan bahwa penyakit karat tumor juga terdapat di daerah batu Batu putihPutih, Kalimantan Timur. Namun penyakit tidak berkembang, karena populasi tanaman sengon di daerah tersebut hanya terbatas.

Penyebab Penyakit Karat Tumor

Penyebab penyakit karat tumor pada tanaman sengon di Pilipina, Timor Timur, dan Sabah, Malaysia serta di Jawa dan Bali telah diidentifikasi sebagai jamur karat. Jamur karat ini hanya memerlukan 1 inang saja yaitu tanaman sengon untuk menyelesaikan seluruh siklus hidupnya. Jamur hanya membentuk satu macam spora yang dinamakan teliospora saja. Secara spesifik, teliospora mempunyai struktur yang berjalur, bergerigi dan setiap satu tangkai terdiri dari 3 teliospora. Ukuran spora berkisar antara lebar 14-20 μm dan panjang 17 to 28 μm.
Teliospora mudah diterbangkan oleh angin dari satu tempat ke tempat lain ataupun dari tanaman sengon satu ke tanaman yang lain. Apabila telah mendapatkan tempat yang sesuai terutama pada bagian tanaman yang masih muda, dan kondisi lingkungannya menguntungkan, teliospora akan berkecambah membentuk basidiospora. Basidiospora ini dapat secara langsung melakukan penetrasi, menembus lapisan epidermis membentuk hypha di dalam ataupun di antara sel-sel epidermis, xylem dan phfloem . Infeksi dapat terjadi pada biji, semai maupun tanaman dewasa di lapangan. Semua bagian tanaman meliputi pucuk, cabang, ranting, daun, batang, bunga dan biji dapat terinfeksi oleh jamur tersebut. Pada semai, batang merupakan bagian tanaman yang paling rentan terhadap serangan jamur karat.

 Gejala Penyakit
                                                                                                                  
a.Gejala pada Semai

Gejala pada semai sangat bervariasi, dan kadang tidak terlihat secara jelas. Infeksi jamur karat pada semai umur 2-3 minggu menyebabkan daun mengeriting, melengkung dan tidak dapat berkembang dengan normal. Apabila di sentuh, daun terasa kaku dan mudah rontok. Semai menunjukkan pertumbuhan meninggi yang sangat lambat, kering dan mudah rontok. Pada semai yang lebih tua (umur 6 minggu), gejala nampak berupa pucuk yang melengkung, bila di raba terasa agak kaku. Batang semai yang terinfeksi, kadang menunjukkan adanya garis putih yang memanjang, jelas atau samar-samar. Di lapangan, gejala ini nantinya akan dengan cepat berkembang membentuk gall di sepanjang batang tersebut. Bentuk gejala yang lain dapat berupa pembengkokan batang, disertai bercak warna coklat pada bagian tersebut. Dilapangan, semai semacam ini akan menghasilkan tanaman yang bentuknya tidak lurus, dan pada pembengkokan tersebut akan muncul gall, sehingga batang mudah patah bila tertiup angin. Pada semai yang lebih tua, gejala tampak lebih jelas dan mudah dikenali karena gall telah mulai terbentuk. Pembengkokan batang serta bercak warna coklat pada semai sengon umur 6 minggu yang terinfeksi jamur U. tepperianum, b. gall pada semai umur 11 minggu. Pada semai umur 3 bulan atau lebih yang belum di tanam di lapangan, kadang gall berkembang membesar dan jamur memproduksi ratusan juta spora berwarna coklat yang relatif masih aktif di permukaan gall. Spora tersebut siap diterbangkan angin dan berperan sebagai sumber inokulum bagi semai ataupun tanaman muda sehat lain disekitarnya. Gall yang telah tua dan masak, serta memiliki jaringan yang masih baik, kadang digunakan oleh serangga type penggerek batang untuk meletakkan telur, yang kemudian akan berkembang menjadi larva. Kadang, orang terkeliru karena menyangka serangga tersebutlah yang menyebabkan gall. Padahal larva tersebut hanya sebagai sekunder atau menumpang pada gall saja.


b. Gejala di Lapangan

Di lapangan, semai yang telah terinfeksi jamur U. tepperianum sejak di pesemaian, akan cepat menunjukkan gejala. Namun, kecepatan pembentukan gejala akan sangat bergantung pada lokasi penanamannya. Pada tanaman muda sebelum umur 2 tahun, gejala umumnya berupa tumor yang terbentuk pada batang atau cabang, atau pada ruas-ruas cabang. Bentuk gall sangat bervariasi. Permukaan gall yang masih baru atau segar tampak dilapisi milyaran teliospora aktif berwarna coklat kemerahan, yang siap disebarkan melalui angin ke tanaman di sekitarnya. Pada dasarnya jamur U. tepperianum hanya mampu menginfeksi jaringan-jaringan tanaman yang muda.
Dengan demikian kemungkinan terjadinya infeksi baru pada jaringan tanaman dewasa di lapangan adalah sangat kecil. Gejala pada tanaman dewasa pada dasarnya berasal dari infeksi yang terjadi pada tanaman muda atau bahkan dari semai. Hanya saja, karena respon setiap tanaman berbeda, dan lingkungan mikro di sekitar tanaman juga berbeda, maka gejala yang muncul saatnya juga berbeda-beda. Pada tanaman dewasa atau tua, gall sering nampak pada tajuk tanaman, terutama pada ujung ranting muda ataupun pada tangkai daun. Gall tersebut tidak merugikan pertumbuhan tanaman inangnya, namun secara aestetika nampak kurang menyenangkan hati. Terlebih, spora aktif pada gall tersebut nantinya dapat menjadi sumber inokulum potensial bagi tanaman muda atau pada semai disekitarnya.

 Kondisi Tanaman yang Mempengaruhi terjadinya Penyakit

Pada umumnya, semai maupun tanaman dewasa di lapangan yang tidak terserang karat tumor adalah tanaman yang memiliki kenampakan kokoh dan kuat. Walaupun demikian, tidak semua tanaman sengon yang memiliki kenampakan kuat tidak terserang oleh jamur U. tepperianum. Serangan karat tumor pada tanaman yang kokoh akan berdampak lebih kecil dibanding serangan pada tanaman yang mempunyai kenampakan lemah. Respon tanaman sengon terhadap penyakit karat tumor dipengaruhi oleh faktor genetik dari tanaman itu sendiri dan faktor lingkungan disekitar pertanaman. Benih yang berasal dari induk superior dengan karakteristik yang jelas, akan menghasilkan tanaman yang relatif kuat dan lebih toleran terhadap karat tumor.
Sedangkan benih yang berasal dari sumber yang tidak jelas kualitasnya, cenderung akan memiliki respon yang buruk terhadap penyakit. Bibit sengon yang di tanam di hutan rakyat, pada umumnya diusahakan sendiri oleh petani dengan menggunakan biji yang tidak jelas asal-usul induk dan kualitasnya. Pada saat di pindahkan ke lapangan, semai akan berinteraksi dengan faktor lingkungan yang ekstrim dan beragam termasuk adanya infeksi jamur karat U. tepperianum. Hal ini akan berakibat fatal pada tanaman yang tidak memiliki kualitas baik. Di sisi lain, pada hutan tanaman yang diusahakan oleh pemerintah atau pengusaha, benih yang digunakan umumnya berasal dari sumber yang lebih jelas, meskipun belum seluruhnya menggunakan benih yang bersertifikat. Hal tersebut menjadi salah satu sebab serangan karat tumor di hutan rakyat lebih parah dan lebih bervariasi dibanding serangannya pada hutan tanaman. Namun, di sisi lain, adanya stratifikasi tajuk yang cenderung seumur dan seragam pada skala luas, menyebabkan penyebaran penyakit karat tumor di hutan tanaman menjadi lebih cepat dibanding penyebarannya di hutan rakyat.  

 Kondisi Lingkungan yang Mendukung Perkembangan Penyakit

Pada umumnya, penyakit berkembang intensif di daerah dengan kelembaban tinggi. Adanya kabut baik di musim kemarau maupun musim penghujan berpotensi meningkatkan terjadinya penyakit karat tumor baik di pesemaian maupun di lapangan. Penyakit cenderung lebih cepat berkembang pada pertanaman sengon yang ternaung dibanding pada pertanaman yang terbuka. Demikian pula, adanya radiasi sinar utra violet selama 5 jam berturut-turut, dapat menghambat perkecambahan teliospora jamur karat.
              Tanaman sengon yang tumbuh di tempat tinggi seperti di lereng bukit maupun gunung, berpeluang mendapatkan serangan karat tumor lebih besar dibanding tanaman sengon yang tumbuh di tempat rendah dan rata. Pada dasarnya, ketinggian tempat bukanlah faktor utama yang dapat meningkatkan resiko terjadinya serangan jamur karat ini. Namun kondisi lingkungan seperti misalnya kelembapan yang tinggi, angin yang perlahan serta adanya kabut, umumnya terdapat di lokasi yang relatif tinggi.Pertanaman murni di hutan tanaman, mempunyai resiko yang lebih tinggi terhadap penyakit karat tumor dibanding pertanaman campuran di hutan rakyat. Namun, pengelolaan penyakit karat tumor di hutan rakyat, jauh lebih kompleks dibanding pengelolaan penyakit di hutan tanaman industri. Hal ini disebabkan lebih kompleksnya faktor yang mempengaruhi terjadinya penyakit karat tumor di hutan rakyat di banding di hutan tanaman. Dengan demikian, strategi pengendalian karat tumor di hutan rakyat perlu mendapat perhatian yang lebih besar, agar mendapatkan hasil yang optimal.

 Teknik Pengelolaan Penyakit Karat Tumor
                                                                                                                          
Penyakit karat tumor pada sengon, terutama di pulau Jawa telah menjadi ancaman yang serius bagi industri perkayuan di Indonesia. Eksport kayu lapis maupun furniture yang berbasis bahan baku sengon terutama ke negara Timur Tengah, Korea dan Jepang dikhawatirkan akan terganggu dengan adanya penyakit tersebut. Dengan demikian langkah penanggulangan penyakit ini harus segera difikirkan bersama pada tingkat nasional.
Beberapa langkah yang di usulkan oleh penulis dalam rangka penanggulangan penyakit ini adalah :
A. Aspek teknis

1. Seleksi Benih
Penggunaan benih yang telah disertifikasi sangat dianjurkan. Setidak tidaknya, benih harus berasal dari pohon yang jelas asal-usul dan karakteristiknya. Perlakuan benih harus dilakukan dengan tepat untuk mengurangi resiko terbawanya jamur melalui benih. Jamur U.tapperianum dapat terbawa melalui biji (seed transmitted), namun bukan merupakan jamur yang berasal dari biji (seed born).

2. Pengelolaan di persemaian
Lokasi persemaian hendaklah dipilih di tempat terbuka, pada ketinggian di bawah 250 m dpl. Hal
ini berguna untuk mengurangi serangan karat tumor pada awal pertumbuhan semai. Monitoring gejala penyakitkarat tumor harus dilakukan secara teratur sejak dini. Dengan demikian, pengetahuan tentang gejala dini penyakit karat tumor pada semai harus segera disosialisasikan. Penggunaan fungisida yang sesuai dan dengan cara yang tepat dapat dianjurkan untuk mengurangi sumber inokulum. Tindakan sanitasi dengan cara menyingkirkan dan menimbun semai yang terinfeksi jamur U.tepperianum perlu dilakukan untuk meningkatkan kesehatan lingkungan semai. Seleksi semai perlu dilakukan. Hanya semai yang kokoh dan sehat saja yang dipilih untuk di tanam di lapangan.

3. Pengelolaan di lapangan
Pemilihan lokasi tanam perlu dilakukan secara tepat. Mengingat hampir seluruh pulau Jawa telah terinfestasi spora jamur karat U. tepperianum, maka penanaman sengon baru (terutama di daerah yang telah ada epidemi penyakit karat tumor), hanya dianjuran pada lokasi di bawah 300 m d.p.l. (Rahayu, 2007). Monitoring secara teratur pada tanaman muda di lapangan harus selalu dilakukan, untuk dapat segera dilakukan pembuangan inokulum yang berupa tumor (gall). Namun, apabila penanaman baru tetap dilakukan di daerah yang memilikiketinggian di atas 300 m dpl., maka monitoring dan pengawasan secara ketat wajib di lakukan. Hal ini untuk deteksi dini akan adanya penyakit tersebut, sehingga langkah pengendalian dapat segera dilakukan.
 Tanaman muda yang telah menunjukkan gejala lanjut, dan tidak berpotensi untuk tumbuh secara normal perlu di disingkirkan dari pertanaman dan ditimbun dengan tanah. Penjarangan tanaman perlu dilakukan antara lain untuk meningkatkan jumlah sinar matahari yang masuk dan mengurangi kelembaban, sehingga mengurangi resiko serangan karat tumor. Penjarangan diprioritaskan untukmengeluarkan tanaman yang pertumbuhannya kurang baik, tertekan atau telah menunjukkan gejala karat tumor pada tingkat lanjut. Pemangkasan untuk menghilangkan karat tumor hanya efektif dilakukan apabila gejala terletak pada cabang atau ranting. Teknik pemotongan bagian tanaman yang terkena serangan tumor harus dilakukan secara tepat. Teknik yang tidak tepat, seperti misalnya hanya mengupas gall dari cabang atau batang tanaman saja, justru akan menimbulkan infeksi yang berulang dan memperparah tingkat serangan berikutnya.

4. Aspek budidaya
Ekologi hutan tanaman dan hutan rakyat tidak sama. Dengan demikian strategi penanggulangan penyakit karat tumor di hutan rakyat dan di hutan tanaman menjadi agak berbeda. Telah diketahui bahwa jamur karat U. tepperianum dapat menyelesaikan seluruh siklus hidupnya hanya dalam satu inang saja. Sementara itu, sengon di hutan tanaman cenderung sejenis, seumur, dan dalam skala luas, maka monitoring secara intensif sangat di anjurkan. Langkah menghilangkan sumber inokulum berupa gall dapat sangat membantu dalam menurunkan sumber inokulum yang ada
. Di sisi lain, di hutan rakyat, sengon di tanam secara tumpang sari. Meskipun sampai saat ini jamur U. tepperianum hanya diketahui menyerang tanaman sengon saja, namun mengingat perilaku jamur karat yang mudah membentuk ras patogenik baru, maka sebaiknya tumpang sari atau tanam campur perlu di pilih dengan jenis-jenis yang bukan keluarga polong-polongan (leguminoceae). Hal ini dimaksudkan antara lain untuk mengurangi tingkat kecepatan penyebaran penyakit di lapangan. Namun, monitoring secara teratur tetap merupakan salah satu cara yang dapat di andalkan untuk membatasi jumlah inokulum di lapangan. Pola pandang masyarakat tentang jenis kayu komersial yang dapat ditanam di Jawa juga perlu pembaharuan.
Gerakan pengenalan jenis-jenis lokal maupun eksotik yang berpotensi ekonomi tinggi selain jati, mahoni dan sengon perlu segera diperkenalkan. Jenis balsa (Ochroma pyramidale) dan bayur (Pterospermum spp.) yang di tanam oleh petani binaan PT Kutai Timber Indonesia (KTI), Probolinggo, menampakkan prospek yang baik sebagai bahan baku industri kayu. Namun, penanaman jenis baru ini perlu diimbangi dengan pengembangan teknologi pemrosesan kayu yang efisien dan efektif. Pembatasan penanaman sengon baru di daerah-daerah yang telah terinfestasi berat oleh penyakit ini (dengan tingkat serangan di atas 75%), perlu diberlakukan, setidaktidaknya selama 2 tahun. Hal ini dimaksudkan untuk mengurangi jumlah inokulum yang ada, mengingat jamur U. Tepperianum adalah parasit sejati yang hanya mampu tumbuh dan berkembang pada tanaman sengon yang
masih hidup saja.








III. KESIMPULAN

Status penyakit karat tumor di Indonesia, terutama di pulau Jawa, terutama di beberapa daerah di Jawa Timur dan jawa tengah, diperkirakan telah mencapai tingkat epidemik. Kegagalan penanganan penyakit ini, secara umum akan berdampak negatif pada sektor industri perkayuan, ekonomi, dan sosial di tingkat regional maupun nasional. Oleh karena itu kerja sama dari pemerintah, peneliti, Lembaga Swadaya Masyarakat, pengusaha, tokoh masyarakat, APHI (Asosiasi pengusaha hutan Indonesia), MPI (Masyarakat Perkayuan Indonesia) serta pihak lain yang terkait perlu segera digalakkan, untuk mencapai solusi terbaik bagi penanggulangan penyakit karat tumor pada sengon di Indonesia.




















Daftar pustaka

Braza, R.D. 1997. Karat tumor disease of Paraserianthes falcataria in the Philippines. Forest, Farm, and
Community Tree Research Reports 1997. Vol. 2.Brown, B. 1993. Current and Potential Diseases of
Fast Growing Industrial Timber Plantation Trees. Mandala Agriculture Development Corporation
(MADECOR). Jakarta. Indonesia.

Franje, N.S., Alovera, H.C., Isidora, M.O., Expedito, E.D.C. and Revelieta, B.A. 1993. Karat tumor of Falcata
(Albizzia falcataria (L.)) Beck: its biology and identification. Northern Mindanau Consortium for
Agriculture Resources Research & Development (NOMCARRD). Mindanau. Philippines.

Kasno and Hadi,S. 2005. Pest and diseases of forest trees and general impression on the implementation of
reforestation in the post mined area of PT.INCO, Sorowaku, South Sulawesi. Department of
Silviculture Faculty of Forestry, Bogor Agricultural University. Bogor, Indonesia.

 Visit Report. Lee, S.S. 2003. Pathology of Tropical hardwood plantation in South-EastAsia. New Zealand Journal of Forestry Science 33 (3): 321-335 Old, K.M and Cristavao, C.S. 2003. A rust epidemic of the coffee shade tree (Paraserianthes falcataria) in East Timor. ACIAR Proceedings No. 13. pp. 139-145.

PROSEA (Plant Resourches of South-East Asia) 5. 1994. Paraserianthes Nielsen. In : Soerianegara, I and
Lemmens, R.H.M.J. (eds.).(1) Timber trees: Major commercial timbers. Bogor. Indonesia.

Rahayu, S., Lee,S.S., Nor Aini, A.S. 2005. Karat tumor disease in Falcataria moluccana(Miq) Barneby &
Grimes at Brumas, Tawau-Sabah. In: Sahibin, A.R., Ramlan, O., Kee, A.A.A. and Ng.Y.F. Second
regional symposium on environment and natural resourches, 22-23 March 2005. UKM and Ministry of
Natural Resources and Environmental, Malaysia. Kuala Lumpur, Malaysia.

Rahayu, S., Nor Aini, A.S., Lee, S.S., Saleh, G. and Ahmad, S.S. 2006. Infection of Falcataria moluccana (Miq.)

Barneby & Grimes seedling by karat tumor fungus Uromycladium spp. is associated with a reduction
in growth and survival. Procceding of International Post Graduate Student Conference. University
Science Malaysia (USM). Penang. Malaysia.

Rahayu, S. 2007. Karat tumor disease of Falcataria moluccana on Tawau, Sabah, Malaysia PhD. Thesis.
Universiti Putra Malaysia, Malaysia. ...............








Tidak ada komentar:

Posting Komentar