MANFAAT
PEKARANGAN
(Kursus Karang
Taruna Jebres Surakarta, 17 – 20 Sepetember 1982).
PENDAHULUAN
Menurut
arti katanya, pekarangan berasal ari kata “karang” yang berarti halaman rumah
(Poerwodarminto, 1976). Sedang secara luas, Terra (1948) memberikan batasan
pengertian sebagai berikut:
“Pekarangan
adalah tanah di sekitar perumahan, kebanyakan berpagar keliling, dan biasanya
ditanami padat dengan beraneka macam tanaman semusim maupun tanaman tahunan
untuk keperluan sendiri sehari-hari dan untuk diperdangkan. Pekarangan
kebanyakan slng berdekaan, dan besama-sama membentuk kampung, dukuh, atau
desa”.
Batasan
pengertian ini, di dalam praktek masih terus dipergunakan sampai sekitar dua
puluh tahun kemudian. Terbukti dari tulisan-tlisan Soeparma (1969), maupun
Danoesastro (1973), masih juga menggunakan definisi tersebut. Baru setelah
Soemarwoto (1975) yang melihatnya sebagai suatu ekosistem, berhasil memberikan
definisi yang lebih lengkap dengan mengatakan bahwa:
“Pekarangan adalah sebidang tanah darat yang
terletak langsung di sekitar rumah tinggal dan jelas batas-batasannya, ditanami
dengan satu atau berbagai jenis tanaman dan masih mempunyai hubungan pemilikan
dan/atau fungsional dengan rumah yang bersangkutan. Hubungan fungsional yang
dimaksudkan di sini adalah meliputi hubungan sosial budaya, hubungan ekonomi,
serta hubungan biofisika”. (Danoesastro, 1978).
FUNGSI HUBUNGAN SOSIAL BUDAYA
Ditinjau
dari segi sosial budaya, dewasa ini nampak ada kecenderungan bawa pekarangan
dipandang tidak lebih jauh dari fungsi estetikanya saja. Pandangan seperti ini
nampak pada beberapa anggota masyarakat pedesaan yang elah “maju”, terlebih
pada masyarakat perkotaan. Yaitu, dengan memenuhi pekarangannya dengan tanaman
hias dengan dikelilingi tembok atau pagar besi dengan gaya arsitektur “modern”.
Namun,
bagi masyarakat pedesaan yang masih “murni”, justru masih banyak didapati
pekarangan yang tidak berpagar sama sekali. Kalaupun berpagar, selalu ada
bagian yang masih terbka atau diberi pinu yang mudah dibuka oleh siapapun
dengan maksud untuk tetap memberi keleluasaan bagi masyarakat umum untuk keluar
masuk pekarangannya.
Nampaknya,
bagi masyarakat desa, pekarangan juga mempunyai fungsi sebagai jalan umum
(lurung) antar tetangga, atar kampung, antar dkuh, ahkan antar desa satu dengan
yang lainnya.
Di
samping itu, pada setiap pekarangan terdapat”pelataran” (Jawa) atau “buruan”
(Sunda) yang dapat dipergunakan sebagai tempat bemain anak-anak sekampung.
Adanya kolam tempat mandi atau sumur di dalam pekarangan, juga dapat dipergunakan oleh orang-orang sekampung
dengan bebas bahkan sekaligus merupakan tempat pertemuan mereka sebagai sarana
komunikasi masa (Soemarwoto, 1978).
Jadi,
bagi masyarakat desa yang asli, pekarangan bkanlah milik pribadi
yang”eksklusif”, melainkan juga mempunai fungsi sosial budaya di mana anggota
masyarakat (termasuk anak-anak) dapat bebas mempergunakannya untuk
keperluan-keperluan yang bersifat sosial kebudayaan pula.
FUNGSI HUBUNGAN EKONM
Selain
fungsi hubungan sosial budaya, pekarangan juga memiliki fungsi hubungan ekonomi
yang tidak kecil artinya bagi masyarakat yang hidup di pedesaan.
Dari
hasil survey pemanfaatan pekarangan di Kalasan, disimpulkan oleh Danoesastro
(1978), sedikitnya ada empat fungsi pokok yang dipunyai pekarangan, yaitu
(Tabel 1): sebagai sumber bahan makanan, sebagai penhasil tanaman perdagangan,
sebagai penghasl tanaman rempah-rempah atau obat-obatan, dan juga sumber
bebagai macam kayu-kayuan (untuk kayu nakar, bahan bangunan, maupun bahan
kerajinan).
Tabel 1. Daftar berbagai macam tanaman di pekarangan petani di kelurahan
Sampel, dikelompokkan menurut fungsina (Kecamatan Kalasan).
No.
|
Golongan Tanaman
|
Macam Tanamannya
|
I
|
Sumber bahan makanan tambahan :
1.
Tanaman karbohdrat
2.
Tanaman sayuran
3.
Buah-buahan
4.
Lain-lain
|
Ubikayu, ganyong, uwi, gembolo, tales,garut dll.
Mlinjo, koro, nangka, pete.
Pepaya, salak, mangga, jeruk, duku, jambu, pakel,
mundu, dll.
Sirih.
|
II
|
Tanaman perdagangan
|
Kelapa, cengkeh, rambutan.
|
III
|
Rempah-rempah, obat-obatan.
|
Jahe, laos, kunir, kencur, dll.
|
IV
|
Kayu-kayuan:
1.
Kayu bakar
2.
Bahan bangunan
3.
Bahan kerajinan
|
Munggur, mahoni, lmtoro.
Jati, sono, bambu, wadang.
Bambu, pandan, dll.
|
Sumber: Danoesastro, 1978.
Berdasarkan
kenyataan-kenyataan tersebutlah, maka Danoesastro (1977) sampai pada kesimpulan
bahwa bagi masyarakat pedesaan, pekarangan dapat dipandang sebagai “lumbung
hidup” yang tiap tahun diperlukan untuk mengatasi paceklik, dan sekaligus juga
merupakan “terugval basis” atau pangkalan induk yang sewaktu-waktu dapat
dimabil manfaatnya apabila usahatani di sawah atau tegalan mengalami bencana
atau kegagalan akibat serangan hama/penyakit, banjir, kekeringan dan bencana
alam yang lain.
FUNGSI HUBUNGAN BIOFISIKA
Pada
pandangan pertama, bagi orang “kota” yang baru pertama kali turun masuk desa,
akan nampak olehnya sistem pekarangan yang ditanami secara acak-acakan dengan
segala macam jenis tanaman dan sering pula menimbukan kesan “menjijikkan”
karena adanya kotoran hewan ternak di sana sini. Namun, dalam penelitian
menunjukkan, bahwa keadaan serupa itu adalah merupakan manifestasi
kemanunggalan manusia dengan lingkungannya sebagaimana yang telah diajarkan
nenek moyangnya.
Di
daerah Sunda misalnya, tetapi terdapat pandangan ang oleh Hidding (1935)
disebutkan:
“Manusia adalah bagian dalam dan dari satu kesatuan yang
besar ..........Semua mempunai tempatna sendiri dari tidak ada sesuatu yang
berdiri sendiri.....
Dalam teori kebatinan Jawa, disebutkan
bahwa sesuatu yang ada dan yang hidup pada pokoknya satu dan tunggal. Bahkan,
justru pola pengusahaan pekarangan seperti itulah ternyata, yang secara alamiah
diakui sebagi persyaratan demi berlangsungnya proses daur ulang (recycling)
secara natural (alami) yang paling efektif dan efisien, sehingga pada kehidupan
masyarakat desa tidak mengenal zat buangan. Apa yang menjadi zat buangan dari
suatu proses, merupakan sumberdaya yang dipergunakan dalam proses berikutnya
yang lain. Sebagai contoh, segala macam sampah dan kotoran ternak dikumpulkan
menjadi kompos untuk pupuk tanaman. Sisa
dapur, sisa-sisa makanan, kotoran manusia dan ternak dibuang ke kolam untuk
dimakan ikan. Ikan dan hasil tanaman (daun, bunga, atau buahnya) dimakan
manusia, kotoran manusia dan sampah dibuang ke kolam atau untuk kompos,
demikian seterusnya tanpa berhenti dan berulang-ulang.
Dengan
demikian kalaupun dalam proses kemajuan peradaban manusia ada sesuatu yang
perlu diperbaki seperti: pembuatan jamban
Keluarga di atas kolam, sistem daur ulang yang
tidak baik dan efisiensi harus tetap terjaga kelangsungannya.
DAMPAK MODERNISASI YANG MEMPRIHATINKAN
Tetapi sayang, berbaai fungsi dari
pekarangan yang begitu kompleks dan mencakup banyak segi kehidupan manusia
serta pelestarian lingkungan itu kan mengalami “erosi” yang memprihatinkan
karena sering hanya dijadikan korban untuk memenuhi alasan “modernisasi”.
Proyek-proyek
pembangunan industri dan prasarana lain di desa pinggiran sering kurang
memperhitungkan bahwa, pembangunan kompleks perumahan karyawannya yang
terlampau mewah dibandingkan dengan perumahan penhuni asli dan yang dipagar
keliling rapat serta mewah pula itu merupakan isolasi bagi masyarakat penatang
dengan lingkungannya yang bisa menimbulkan ketegangan sosial dan kriminalitas.
Lebih-lebih jika
pembangunan itu sendiri membutuhkan tanah urug yang harus diambilkan dari tanah
lapisan aas (top soil) pekarangan penduduk di sekitarnya. Penduduk asli tidak
saja menjadi kehilangan “lumbung hidup” atau “pangkalan induknya” karena
pekarangan dan tegalannya tidak produktif lagi, tetapi sekalgus kualitas
lingkungannya menjadi rusak karena daur ualng idak lagi berlangsung lancar.
Pengaruh
pembangunan yang kurang bijak, modernisasi perumahan yang mengganti tanaman pekarangan menjadi tanaman hias dan
agar hidup yang berubah menjadi tembol atau tulang besi, sebenarnya sangat
disayangkan. Modernisasi memang harus tumbuh, tetapi bkan dengan merusak
lingkungan hidup. Peningkatan kesejahteraan lahiriah memang salah satu tuntutan
hidup, tetapi bukan dengan menciptakan masayarakat eksklusif yang mengisolir
diri. Kurangnya halaman tempat bermain bagi anak-anak mungkin saja dapat
dialihkan, tetapi keakraban anak-anak sekampung yang merenggang akan dapat
berbalik menjadi iri dengki, dan dendam yang tersembuni. Itulah masalahnya.
DAFTAR ACUAN
Danoesastro, Haryono
: “Tanaman Pekarangan dalam Usaha
Meningkatkan Ketahanan Rakat Pedesaan”. Agro – Ekonomi. Maret 1978.
__________________- : Survai
Pekarangan Kecamatan Kalasan,kerjasama Fakultas Pertanian UGM dengan Diperta Daerah Istimewa
Yagyakarta. 1979.
__________________ : Pemanfaatan
Pekarangan. Yayaan Pembina Fakulas Pertanian UGM. Yogyakarta, 1979.
Hidding, K.A.H. : Gebruiken
en Godsdients der Soendaneezen G. Kolff & Co. Hal. 24. Batavia. 1975.
Soemarwotto, O : “Pegaruh Lingkungan Proyek Pembangunan”. Prisma,
N.3 Juli 1975.
_____________ : Ekologi Desa: Lingkungan Hidup dan Kualitas
Hdup. Prisma, No. 8, September 1978.
Terra, G.J.A. :
Tuinbouw : Van Hall en C. Van de. Koppel : De Landbouw in de indische
archpel.IIA, 1949. Terjemahan Haryono Danoesastro.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar